Hello, My Tomorrow!

"Never explain yourself to anyone. Because the person who likes you doesn't need it and the person who dislikes you won't believe it."
.
When people talk behind your back, when they tell wrong stories about you to other people, sometimes all you need to do is doing nothing.

While doing nothing, you will see that there are people who won't fall for the rumor and stand up for you.

While doing nothing, you will see that some people will try to seek the truth behind the rumor and ask you directly for an answer.

While doing nothing, you will also see that some other people are actually enjoying the false story about you in silence. They don't even care if the rumor about you is right or wrong. They are just happy to have another gossip to talk about and to laugh to.

And while doing nothing, you will also see that certain people are busy fueling the rumor. The more people who fall into their lies the bigger smile they have on their faces.

By doing 'nothing'... You let other people show you their true color, their true faces, so that you will know who's worth your time and who's not.

Just let the time reveal the truth for you. Because God never sleeps and truth will always find a way to denote itself.

***

I'm not telling you to stay silent when someone harass you. You have to stand on your ground and never let anyone to push you down.

But, you need to remember that you can't make everyone love you. Being disliked by other people is not a big deal, especially if they dislike you for no reason.

Just focus on giving your love, attention and forgiveness to those who deserve it and don't forget to always be a better person every day. Just like the saying "Those who mind don't matter, and those who matter don't mind". ;))
Read More …


Beberapa bulan terakhir ini, aku memiliki kebiasaan baru. Jika sebelumnya mengawasi karyawan di book cafe ini terasa begitu membosankan, sebaliknya, kini aku selalu menanti-nantikannya.

Ini semua karena pria asing itu. Pria asing yang selalu datang ke cafe ini setiap pukul 7 malam. Pria asing yang selalu memesan kopi yang sama. Pria asing yang selalu memilih bangku di sudut jendela dengan pandangan menerawang entah ke mana. Pria asing dengan rambut pirang yang warnanya sangat kontras dengan cat dinding cafe ini. Pria asing yang meskipun namanya tak ku ketahui tapi mampu menyita seluruh perhatianku.

Jam di dinding hampir menunjukkan pukul 7 malam. Tanpa alasan yang jelas, jantungku mulai berdebar tak beraturan. Aku tak lagi fokus mengawasi para karyawan kafe ini. Mataku hanya tertuju pada pintu masuk, menanti-nanti kedatangan sosok asing itu. Malu rasanya dengan sikapku yang seperti anak SMA yang baru jatuh cinta ini, mengingat umurku sudah dua puluh lima.

“Mbak Faiqa, kok kelihatan gelisah sih? Lagi nggak enak badan ya, Mbak?” Tanya salah seorang trainee barista memecah lamunanku.

“Ah.. Enggak kok. Gimana? Sudah mulai terbiasa dengan ritme kerja di sini?” Jawabku. Mataku tetap saja mencuri-curi pandang mencari tanda-tanda kehadirannya.

Dengan senyum yang ceria, trainee barista itu mengangguk dengan penuh semangat. “Iya, Mbak. Senior di sini baik-baik dan nggak pelit ilmu. Oke deh, Mbak. Aku lanjut lagi ya.” Ujarnya, yang kemudian kurespon dengan anggukan dan senyuman. Senang rasanya melihat karyawan yang bersemangat seperti itu.

Kulirik jam di dinding, sudah pukul tujuh lewat. Tak ada sedikitpun tanda-tanda kehadirannya. Rasa gelisah mulai merajai pikiranku. Ini sungguh aneh. Kenapa pula aku harus merasa gelisah karena seseorang yang namanya pun tidak kuketahui.

Untuk mengalihkan perhatianku, kuputuskan untuk mencari kesibukan di balik counter. Dengan keahlian yang sudah dilatih oleh orang tuaku sejak aku remaja, aku mengajari trainee barista tadi beberapa teknik Latte art serta beberapa racikan kopi khas book cafe ini. Aku sangat menyukai aroma kopi di sini meskipun aku tidak bisa minum kopi. Minum secangkir kopi saja bisa membuatku merasa gelisah dan jantungku berdebar tak beraturan.

Kalau dipikir-pikir, pria asing itu, mirip dengan secangkir kopi. Membuatku gelisah tanpa sebab dan membuat jantungku berdebar-debar. Membayangkannya membuatku terkekeh sendiri seperti orang aneh. Andai aku punya keberanian untuk menyapanya. Setidaknya, saat ini mungkin aku sudah mengetahui namanya dan tidak menyebutnya sebagai ‘pria asing’.

Sinar bulan di luar mulai menerobos masuk melalui jendela cafe dan menerangi sudut tempat si pria asing itu biasa duduk menikmati kopinya. Aku baru sadar, tanpa kehadirannya, entah kenapa cafe ini terasa sepi. Tidak ada rambut pirang yang memberi warna kontras pada gelapnya warna cokelat yang melapisi dinding cafe ini. Tidak ada sosok yang menerawang jauh ke luar jendela. Entah apa yang dilihat. Tidak ada pemandangan menarik di balik jendela itu, hanya jalan raya dan bangunan rumah sakit yang menjulang di seberang sana.

Sudah pukul sepuluh lewat, kurang dari satu jam lagi cafe akan ditutup dan pria asing itu belum juga datang. Terbesit sedikit rasa kecewa karena tak dapat melihatnya hari ini. Tapi, mungkin aku terlalu berharap, toh dia tidak harus datang ke sini setiap hari. Kupusatkan pikiranku untuk kembali fokus bekerja; Membantu di sana, membantu di sini, memastikan tiap pelanggan mendapat pelayanan memuaskan dan keluar dari cafe ini dengan perasaan senang.

Kini aku kembali membantu trainee barista di balik counter. Kami mulai bersiap-siap untuk closing. Perasaan sepi yang tadi sempat terlupakan kini hadir kembali. Ingin rasanya aku melihat pria asing itu datang.

“Permisi, masih bisa pesan?” Tanya seorang pria. Meskipun fasih berbicara dengan bahasa Indonesia, logat Prancisnya yang kental tak dapat disembunyikan. Logat milik pria asing itu.

“Maaf, Mister. Kami sudah closing.” Jawab sang kasir dengan cekatan. Dari balik counter ini aku dapat melihat sedikit kekecewaan tergurat di wajahnya.

“Sebentar saja, bisa?” Tanya pria asing itu sedikit memohon. Petugas kasir itu terlihat bingung dan memandangiku, mencoba meminta bantuan. Sekuat tenaga kucoba bersikap sewajar mungkin dan menghampiri sang kasir yang bertugas di samping counter. Tapi, bagaimanapun kerasnya aku berusaha, tetap saja jantung ini berdetak kencang seenaknya tanpa bisa kukendalikan.

“Pesan apa, Sir?” Tanyaku. Sulit rasanya berbicara dengan normal saat jantung ini berdebar kencang. Kuberanikan diri memandang wajahnya. Wajah itu terlihat sedikit pucat.

“Oh, terima kasih. Espresso, please.” Ujarnya dengan sopan sambil memberikan selembar uang lima puluh ribu kepada kasir kemudian segera berjalan menuju sudut jendela dan duduk di tempat favoritnya.

Dengan cekatan, aku kembali ke balik counter dan membuatkan kopi pesanannya. Segera setelah selesai, secangkir espresso ini segera kuletakkan di atas nampan. Saat berjalan ke arahnya, aku berusaha agar gemetar di tanganku ini tidak terlihat olehnya. Sungguh, tingkah lakuku ini benar-benar seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Aku jadi salah tingkah sendiri karenanya.

“Permisi. Ini espressonya.” Ujarku sembari meletakkan secangkir kopi itu ke hadapannya.

“Terima kasih, um, Nona. Maaf saya datang larut malam sehingga menyusahkan begini.”

“Tidak, mister. Tidak perlu minta maaf. Anda terlihat pucat. Apa anda baik-baik saja?” Tanyaku. Sejak kedatangannya, wajah pucat itu membuatku sedikit cemas.

Pria asing itu menggeleng sekedarnya. “Hanya sedikit tidak enak badan. Mungkin gejala flu. Tidak perlu dikhawatirkan.”

Meskipun ia berkata seperti itu, tetap saja ada rasa khawatir yang mengganjal di dadaku. “Mister, mohon tunggu sebentar. Saya bisa membuatkan kopi yang dapat membuat anda merasa sedikit lebih baik.” Ujarku. Segera kubalikkan badanku dan secepat mungkin berjalan menuju counter untuk membuat secangkir wedang kopi jahe yang sering diajarkan oleh nenekku dulu.

“Maaf menunggu lama. Ini. Coba anda minum ini dulu.” Dengan lebih tenang dari sebelumya, kini kuberikan secangkir wedang kopi jahe kepadanya.

Dengan sedikit bingung, pria asing itu meraih secangkir wedang kopi jahe yang kuberikan kepadanya. “Merci!” Ujarnya. Terlihat sekali ia kaget dengan rasa wedang jahe dan kopi yang berbaur menjadi satu di tegukan pertama, tapi dengan lahap ia menghabiskan wedang kopi jahe itu.

“Ah, ini enak sekali. Belum pernah saya minum kopi seperti ini.” Senyum mengembang di wajahnya yang agak pucat itu. “Oh ya, siapa namamu?”

“Faiqa.” Jawabku singkat. Jantungku benar-benar berdebar tak beraturan saat ini.

“Oh. Manajer di sini?”

Ku jawab dengan anggukan pelan, “Merangkap pemilik.” Lanjutku.

“Senang bertemu denganmu, Faiqa. Saya Davin Gringore.” Ujarnya sambil mengulurkan tangannya kepadaku, menandai awal perkenalan kami. Kusambut uluran tangannya seraya berusaha menutupi rasa senangku yang berlebihan ini.

Tuhan, akhirnya aku mengetahui nama pria asing itu.

***

Semenjak malam itu, kami berteman dan banyak berbincang tiap kali ia datang ke book cafe ini. Senang rasanya tidak menyebutnya sebagai pria asing lagi.

C’mon! Stop calling me ‘Sir’, Faiqa. Kita teman, kan?” Ujarnya dengan mimik muka yang lucu saat aku memanggilnya ‘Sir’.

“Oh, ya! Gringore.”

Non! Davin saja.” Ujarnya dengan aksen Prancis yang kental. Mendengarnya berbicara sungguh menarik. Normalnya, ia akan berbahasa Indonesia dengan fasih karena dulu sempat menetap di sini selama tiga tahun, tapi terkadang ia tanpa sadar menyelipkan bahasa Inggris dan Prancis di dalam kalimatnya.

“Oke! Davin.” Sahutku sambil tersenyum yang kemudian dibalas juga dengan senyumnya.

That’s better.

***

Semakin sering kami menghabiskan waktu bersama di cafe ini, semakin banyak hal yang kuketahui tentang dirinya. Usianya terpaut cukup jauh dariku, sembilan tahun. Di tahun ketiga saat ia menetap di Indonesia, tepatnya di penghujung tahun 2012, ia sempat mengalami kecelakaan hebat dan di rawat cukup lama. Setelahnya, ia kembali ke Paris untuk beristirahat dan mendapat perawatan dari keluarganya. Kemudian, tiga bulan lalu ia kembali ke Indonesia, mencoba untuk kembali tinggal di sini. Hal mengenai dirinya yang paling kusukai adalah, ia seorang pelukis. Sejak dulu aku sangat menggemari lukisan, meskipun aku sama sekali tidak bisa melukis.

So, Faiqa. As I promised, here is my sketchbook.” Ujar Davin sambil menyodorkan sketchbook-nya ke arahku. “Sebenarnya, isinya hanya coretan kasar, sebelum saya lukis di atas kanvas, dan sketsa portrait. Semoga tidak mengecewakan.”

Kubuka halaman demi halaman. Tiap sketsa yang terdapat di dalamnya membuatku terpana, sangat terpana.

“Siapa pelukis favoritmu, Faiqa?” Tanya Davin.

Davin Gringore.” Jawabku setengah bercanda. Davin tertawa mendengar jawabanku. “Aku sangat mengagumi karya Pak Affandi dan anaknya, Ibu Kartika Affandi. Keduanya pelukis Indonesia.” Davin mendengarkanku dengan antusias. “Tapi dari semua pelukis yang kuketahui, yang paling berkesan dan kusukai adalah Vincent van Gogh.”

“Alasannya?”

“Meskipun semasa hidupnya, hanya ada satu lukisannya yang terjual, tapi beliau tetap mendedikasikan hidupnya untuk melukis, pekerjaan yang dicintainya. Beliau pantang menyerah dan tak segan untuk terus belajar, meskipun sedikit yang mendukungnya. Itu mengagumkan menurutku.”

Davin mengangguk-angguk sambil mendengar celotehanku yang amatir ini. “Lukisan Van Gogh yang kamu sukai apa, Faiqa?”

Potato Eaters.” Jawabku mantap.

Davin hanya tersenyum mendengar jawabanku. Kemudian, matanya kembali menerawang ke luar jendela, membuatku bertanya-tanya apa yang sebenarnya dicari oleh Davin di luar sana. Pemandangan? Inspirasi untuk lukisannya? Tidak mungkin. Bangunan rumah sakit dan jalan raya bukanlah pemandangan yang menarik. Lantas apa?

Setelah cukup lama memandang ke luar sana dan menciptakan keheningan di antara kami berdua, Davin kembali menatapku. Aku merasa tatapan itu berbeda. Entah apa yang membuatnya berbeda, tapi aku merasakannya. Bolehkah.. aku berharap?

“Kapan kamu libur, Faiqa?” Tanya Davin tiba-tiba.

“Hari Minggu. Adikku yang bertugas hari itu.”

Good! Maukah kamu datang ke pameran saya? Hari Minggu merupakan hari terakhir pameran diselenggarakan.” Ujar Davin sambil menyodorkan selembar tiket masuk pamerannya. Aku merasa sangat senang dan mengangguk setuju untuk datang. Davin menggenggam tanganku. “Kamu harus datang. Pastikan bahwa kamu akan datang ke pameran saya.” Lanjut Davin dengan mimik muka yang serius, membuatku salah tingkah.

Mungkin, aku bisa sedikit berharap.

***

Hari itu, aku pulang menuju rumah dengan jantung berdebar tak karuan. Anehnya, aku tak bisa berhenti tersenyum. Kupandangi tiket pemberian Davin sambil merebahkan diriku di atas kasur. Senyum kembali mengembang di wajahku. Dengan tak sabar, kuraih ponselku yang tergeletak tak jauh dariku. Jariku bergerak lincah untuk menghubungi seseorang yang kutahu pasti tak akan marah jika kuhubungi tengah malam begini.

“Fai.. Lo tau ini jam berapa?” Jawab Alvian di seberang sana dengan suara berat khas seseorang yang baru terbangun dari tidurnya.

“Jam 12 kurang 2 menit.” Jawabku datar yang disambut dengan dengusan kesal Alvian. Aku tersenyum mendengarnya. “Tapi Al.. Lo harus denger cerita gue.”

“Apa? Tentang mister bule itu lagi? Udah, lo nyerah aja Fai.”

“Dia.. Dia minta gue dateng ke pamerannya, Al. Bahkan sampai minta gue mastiin kalau gue bener-bener bisa dateng untuk dia. Boleh nggak sih gue berharap lebih?” Ujarku tanpa henti. Aku sudah berteman lama dengan Alvian, hampir dua belas tahun. Karenanya, aku tak pernah sungkan menceritakan apapun kepada Alvian.

Ada sedikit keheningan di antara kami. Aku berani bertaruh, Al sedang setengah tertidur. “Kapan?” Tanya Al tiba-tiba.

“Hari Minggu ini. Tanggal 10 Agustus.”

“Gue ikut.”

“Hah?” Aku terkejut bukan kepalang. “Ngapain? Lagipula Davin cuma kasih satu tiket.”

“Tiket bisa on the spot kan? Atau gue bisa tunggu lo di mobil nanti. Bahaya kalau ternyata mister bule itu punya maksud jelek sama lo, Fai.”

“Namanya Davin, Al, bukan mister bule.” Ujarku kesal. Aku tak tahu harus berkata apa. Meskipun aku berkata tidak, Alvian pasti akan tetap pergi dan mengawasiku. Sikapnya yang terlalu protektif seperti seorang kakak inilah yang kadang membuatku sedikit jengah.

***

Semenjak ia memberiku tiket pameran itu, Davin tidak pernah lagi datang ke book cafe ini. Padahal, aku kira, setelah hari itu hubungan kami akan semakin dekat.

“Besok lo tetap akan pergi ke pamerannya, Fai?” Tanya Alvian yang sedang datang ke cafe sore itu.

“Gue udah janji, Al. Gue akan tetap datang besok.” Jawabku sambil menghidangkan crepe pesanan Alvian.

Alvian tidak berkata apa-apa, hanya memainkan crepe-nya dengan garpu. “Kalau ternyata apa yang terjadi besok nggak sesuai harapan lo, lo siap, Fai?”

Aku hanya mengangguk, meskipun dalam hati tak yakin dengan anggukan ini.

***

Tepat pukul sebelas, aku dan Alvian tiba di gedung tempat pameran Davin diselenggarakan. Setelah Alvian membeli tiket, kami berdua menerima katalog mengenai lukisan-lukisan yang dipamerkan. Sebagian lukisan yang dipamerkan merupakan hasil karya Davin saat ia dulu tinggal di Indonesia, sebagian lainnya adalah hasil karya seniman tanah air.

Memasuki ruang pameran, aku begitu takjub melihat dekorasi interiornya yang ditata sedemikian rupa sehingga mencerminkan tema pameran lukisan ini, Surga di Penghujung Khatulistiwa. Dinding yang berwana cokelat muda, membuat bingkai lukisan terlihat lebih kokoh dan menonjol. Ruangan ini juga dipermanis dengan tanaman hias dan lampu-lampu kecil di langit-langit yang memberikan kesan mewah. Suasananya sungguh sangat manis.

Aku dan Alvian mulai berkeliling, dimulai dengan melihat lukisan-lukisan para seniman tanah air. Sungguh menakjubkan melihat tiap sudut Indonesia dilukiskan dengan sangat indah dan asri. Semoga keindahan-keindahan yang terangkum dalam lukisan-lukisan itu dapat menggerakkan hati siapa pun yang melihatnya untuk tergerak dan turut serta menjaga dan melestarikannya.

Kami semakin ke dalam menjelajahi lukisan demi lukisan. Tiap sudutnya menampilkan kekayaan dan keindahan pulau-pulau di Indonesia dengan goresan khas masing-masing seniman. Tiap goresan terlihat begitu mantap dengan perpaduan warna yang menarik. Kemudian, tanpa sadar kami sudah tiba di sudut tempat lukisan-lukisan Davin dipamerkan. Davin merupakan satu-satunya pelukis mancanegara yang karyanya diikutsertakan dalam pameran ini.

Semua lukisan Davin mengenai kota ini, Yogyakarta. Mulai dari pantai, gunung, hingga pasar. Goresannya di atas kanvas begitu tajam dan terasa jujur, membuatku terpana. Lukisan-lukisan ini berkali-kali lipat jauh lebih mempesona daripada yang kulihat dalam sketchbook-nya.

“Fai, gue nggak sangka, lukisan-lukisan si mister bule ini boleh juga ya.” Ujar Alvian seraya berdecak kagum.

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Jarang sekali Alvian bisa terang-terangan memuji orang lain seperti ini. Kucoba mencari sosok dibalik karya-karya indah di hadapanku ini. Kususuri lorong demi lorong, tidak kutemukan sosoknya. Akan tetapi, aku melihat satu lukisan yang sedikit berbeda. Lukisan itu ditempatkan di penghujung lorong. Tak seperti lukisan lainnya, di samping lukisan itu hanya tertulis judul lukisannya saja, tanpa dilengkapi dengan nominal harga. Di sana tertulis “Espoir sebagai judul dan “Davin Gringore” sebagai pelukisnya.

“Es.. Po.. Ir..?” Kucoba mengeja judul lukisan itu. Mataku seakan tak bisa lepas dari sosok seorang gadis yang berada dalam lukisan itu. Berlatar belakang gedung rumah sakit, sosok gadis itu terlihat anggun dengan balutan gaun putih. Dia gadis Indonesia, dengan rambut tergerai sebahu dan tatapan mata yang teduh. Dalam lukisan itu, sang gadis tersenyum begitu manis.

Ben non! Espoir tidak dilafalkan seperti es-po-eer.” Ujar seseorang sambil memegang kedua pundakku dari belakang. “Tapi dilafalkan seperti es-pwar (ɛs.pwaʁ).”

Aku sangat mengenal suara dengan logat Prancis yang kental ini. “Davin!” Ujarku seraya menoleh kepada Davin. Jantungku kembali berdegup tak beraturan.

Davin menyambutku dengan senyumannya. “Hai. Terima kasih. Sudah saya tunggu kamu datang. Dia.. Kekasih kamu, Faiqa?” Tanya Davin sambil mengarahkan pandangan kepada Alvian.

“Bukan!” Ujarku dan Alvian bersamaan. “Ini Alvian, temanku baikku. Alvian, ini Davin.” Lanjutku memperkenalkan mereka berdua. Keduanya berjabat tangan dan saling memberi sapaan singkat.

“Bagaimana pamerannya?” Tanya Davin antusias.

“Bagus banget! Semua lukisannya menarik, terutama lukisan ini.” Kutunjuk lukisan Espoir yang ada di depanku ini. “Terasa berbeda. Menyentuh. Tegas, tetapi lembut di saat yang bersamaan. Kamu hebat sekali, Davin. Tapi, rasanya lukisan ini kurang sesuai ya dengan tema pameran kali ini.”

Davin tersenyum saja mendengar celotehan amatiranku. “Coba perhatikan sekelilingmu, Faiqa.” Ujar Davin sambil memegang kedua pundakku lagi, dan memutar tubuhku ke segala arah. “Apa yang kamu lihat?”

“Pemandangan menarik dari tiap sudut pulau di Indonesia.” Sahutku.

“Benar, itulah Surga di Penghujung Khatulistiwa menurutku.” Ujar Davin menimpali. “Surga itu, juga tempat tinggal para bidadari. Benar bukan?”

Aku hanya terdiam, berusaha memahami arah pembicaraannya. Davin kemudian kembali memutar tubuhku hingga aku kembali menghadap lukisan Espoir itu. Davin menunjuk sosok gadis di dalam lukisan itu. “Namanya Khalisa Gantari. Bagiku, dialah sosok yang mewakili para bidadari di Surga di Penghujung Khatulistiwa ini.”

Tubuhku kaku. Aku tak tahu harus bagaimana. Aku berusaha untuk tersenyum, tapi tidak bisa. Ingin kupalingkan pandanganku dari Khalisa Gantari yang tersenyum manis di dalam lukisan itu, tapi tak juga bisa kulakukan. Diakah perempuan yang dicintai Davin? Batinku.

“Dia.. Pacar anda, Mister Davin?” Tanya Alvian memecah kesunyian di antara kami. Tidak ada jawaban. Davin hanya menggeleng pelan.

“Dulu, saya pernah cerita tentang kecelakaan yang saya alami kepada kamu Faiqa. Benar kan?” Aku mengangguk pelan. “Khalisa dulu bekerja sebagai perawat di rumah sakit yang bersebrangan dengan kafe milikmu, Faiqa. Di rumah sakit itu juga saya dirawat setelah kecelakaan. Khalisalah yang seringkali bertugas merawat saya.”

Ada hening yang kemudian tercipta di antara kami bertiga. Aku masih tidak tahu bagaimana harus bersikap dengan normal. Menatap mata Davin pun aku tidak bisa.

“Perasaan terhadap Khalisa mulai tumbuh di dalam diri saya. Akan tetapi, setelah satu bulan dirawat di sana, keluarga saya meminta rumah sakit agar bisa memindahkan perawatan saya di Paris, untuk memudahkan mereka merawat saya.” Davin kemudian tertunduk. Aku tidak bisa melihat raut wajahnya dengan jelas.

“Saya kira, perasaan saya waktu itu hanya sekedar kekaguman biasa yang akan hilang seiring berlalunya waktu.” Davin terdiam sejenak, kemudian menatapku lekat-lekat. “Ternyata saya salah, Faiqa. Khalisa tidak pernah hilang dari ingatan saya. Sejak menyadari itu, saya coba membuat lukisan Espoir ini, dengan harapan bisa memberikan lukisan itu kepadanya ketika saya kembali ke Indonesia lagi.”

Davin kemudian memberitahuku jika tiga bulan lalu akhirnya ia kembali menginjakkan kakinya kembali di Tanah Air. Dengan perasaan sangat bahagia, ia pergi mengunjungi Khalisa ke rumah sakit tempat ia dirawat dulu, rumah sakit dengan bangunan kokoh yang tiap hari selalu terlihat dari jendela kafeku.

“Tapi ternyata dia sudah tidak bekerja di sana, Faiqa.” Ujar Davin. “Rekan kerjanya berkata Khalisa berhenti bekerja karena akan menikah, tapi mereka memberi tahu terkadang Khalisa datang berkunjung sebentar di malam hari, sekedar untuk bertegur sapa dengan teman-temannya di sini.” Kalimat Davin terhenti sejenak. “Saya cukup hancur mendengarnya, tapi keinginan saya untuk melihat Khalisa tetap besar. Jadi, saya putuskan sesering mungkin dapat melihat rumah sakit itu dari dalam kafe milikmu, berharap suatu saat dapat menemukan sosoknya kembali untuk terakhir kalinya. Tapi ternyata mustahil. Saya merasa seperti orang bodoh.”

Davin berusaha tersenyum, menghibur dirinya sendiri, tapi aku tahu ia masih terluka. “Tidak, sama sekali tidak, Davin.” Kupeluk Davin cukup erat, berharap agar ia merasa sedikit lebih baik. “Setidaknya, karena itu, kamu bisa mendapat teman baik seperti aku.” Gurauku untuk menghiburnya.

Davin kini benar-benar tersenyum. “Ya, saya bersyukur mendapat teman baik yang langka seperti ini.” Ujarnya sambil mengusap kepalaku seperti anak kecil. “Cukup untuk cerita tentang Khalisa, saya mengundang kamu karena ada yang ingin saya berikan kepada kamu sebagai kenang-kenangan, Faiqa.”

“Kenang-kenangan?” Tanyaku heran.

Davin tidak menggubrisku. “Ayo ikut saya ke ruang istrahat.” Ujarnya. Aku melirik Alvian, Alvian hanya menggeleng, pertanda ia tidak akan ikut bersama kami ke ruang istirahat Davin.

***

Ruang Istirahat Davin yang disediakan oleh panitia penyelenggara pameran ini tidak terisi banyak perabotan. Hanya sebuah meja dan beberapa sofa. Di atas meja itu terdapat kotak pipih yang cukup lebar terbungkus oleh kertas kado bermotif batik. Davin meraih kotak pipih itu dan memberikannya kepadaku. Kubuka bungkus kadonya dengan antusias. Begitu melihatnya, aku tak dapat menahan tawaku lagi.

“Davin! Ini.. Ini lukisan secangkir wedang kopi jahe waktu itu kan?” Ujarku tak percaya. Aku masih ingat jelas pernah membuatkannya minuman itu meskipun tidak termasuk dalam menu di book cafe­-ku.

“Benar. Itu kopi yang sangat enak. Kamu harus coba mempertimbangkannya untuk memasukkan kopi itu ke dalam menu.” Ujar Davin dengan senyum mengembang. “Kalau kamu mau, lukisan itu bisa kamu pajang di kafemu.”

Kupandangi lukisan secangkir kopi itu. Sederhana dengan sapuan lembut, tetapi kaya akan warna. Sangat serasi jika disandingkan dengan gelapnya warna dinding kafeku. “Pasti! Pasti akan kupajang.” Ujarku dengan senyum yang tak kalah lebarnya dengan senyum Davin. “Tapi, Davin.. Apa maksudmu dengan kenang-kenangan?”

Senyum perlahan memudar dari raut wajah Davin. “Sebelumnya saya minta maaf, Faiqa. Saya tidak memberitahu kamu terlebih dahulu.” Hening tercipta kembali di antara kami. “Hari ini, hari terakhir saya berada di Indonesia. Sudah saya putuskan untuk menetap kembali di Paris.” Davin berusaha untuk bersikap sewajar mungkin denganku. “Saya sudah tidak punya alasan lagi untuk tetap tinggal.”

Ingin rasanya aku menangis. Tapi siapalah aku. Aku hanya seorang teman yang kebetulan ia dapatkan di tengah pencariannya. Teman yang mungkin dalam beberapa tahun ke depan sudah tak ia ingat lagi keberadaanya. “Kenapa tiba-tiba?” Tanyaku seraya berusaha agar tangisku tidak tumpah dihadapannya.

Davin tidak menjawab apa-apa, ia hanya merangkulku cukup erat. “Maaf, Faiqa.” Ujarnya lembut. “Tapi, saya harap, kamu tidak melupakan saya sebagai temanmu, karena bagi saya, kamu salah satu teman terbaik yang saya punya. Sesekali, kamu harus kirim email dan kabari saya. Saya juga akan melakukan hal yang sama.” Lanjut Davin.

Ada sedikit perasaan lega mendengar ucapan itu keluar dari mulut Davin. Tak mengapa jika perasaanku ini tak akan berbalas, asal ia tidak pernah melupakan keberadaanku di sini. “Ya. Pasti, Davin.” Jawabku. “Tapi, kalau kamu tidak balas emailku, awas saja!” Kutepuk bahunya dengan keras. Davin meringis kesakitan lalu kemudian tertawa.

“Jika ada waktu luang, datanglah sesekali ke sini.” Lanjutku

Davin mengangguk dan tersenyum padaku.

***

Aku masih tak percaya dengan yang kualami hari ini. Pikiranku kosong, tidak merasakan apa-apa, tapi hatiku ingin sekali menangis sekencang-kencangnya. Sepulangnya dari pameran lukisan itu, aku hanya duduk termangu di pelataran teras rumah Alvian. Kuceritakan semua yang terjadi di ruang istirahat itu kepada Alvian.

“Bukannya lo masih ada harapan Fai? Lo sama Davin akan tetap berkomunikasi kan? Dan, nggak menutup kemungkinan dia akan sesekali datang ke sini.” Ujar Alvian.

Aku hanya menggeleng mendengar perkataan Alvian itu. “Nggak, Al. Gue bisa rasain, nggak ada tempat istimewa buat gue di hati Davin. Selamanya, gue nggak akan pernah lebih dari teman untuk Davin.” Lanjutku.

Alvian tidak berkata apa-apa, hanya diam di sampingku sambil menatap langit, seakan ia dapat melihat bintang-bintang di malam yang mendung itu.

“Tapi Al, selama gue tau dia bahagia, gue nggak masalah walau hanya jadi teman. Mungkin lo nggak ngerti perasaan melankolis khas cewek gini ya.” Ujarku sambil terkekeh.

Alvian mengalihkan pandangannya kepadaku, cukup lama sampai aku merasa aneh. “Ngerti, kok.” Ujar Alvian. “Makanya gue tau lo lagi sok tegar padahal mau nangis. Tipikal!” Lanjut Alvian ketus sambil mendekatkan bahunya ke bahuku. “Nih! Khusus hari ini aja, gue pinjemin bahu gue buat lo secara gratis. Lo boleh nangis sepuasnya. Gue janji nggak akan ngejek lo atau komen secuilpun.”

Hari itu, dinaungi langit malam yang mandung, untuk pertama kalinya aku menangis sejadi-jadinya di bahu sahabat terbaikku yang terkadang menyebalkan ini.


http://www.plotpoint.co/blog/acara-dan-kompetisi/39/Kompetisi-Menulis-Cerpen-JCDD-2/

Read More …