Beberapa bulan terakhir
ini, aku memiliki kebiasaan baru. Jika sebelumnya mengawasi karyawan di book cafe ini terasa begitu membosankan,
sebaliknya, kini aku selalu menanti-nantikannya.
Ini semua karena pria
asing itu. Pria asing yang selalu datang ke cafe ini setiap pukul 7 malam. Pria
asing yang selalu memesan kopi yang sama. Pria asing yang selalu memilih bangku
di sudut jendela dengan pandangan menerawang entah ke mana. Pria asing dengan
rambut pirang yang warnanya sangat kontras dengan cat dinding cafe ini. Pria
asing yang meskipun namanya tak ku ketahui tapi mampu menyita seluruh
perhatianku.
Jam di dinding hampir
menunjukkan pukul 7 malam. Tanpa alasan yang jelas, jantungku mulai berdebar
tak beraturan. Aku tak lagi fokus mengawasi para karyawan kafe ini. Mataku
hanya tertuju pada pintu masuk, menanti-nanti kedatangan sosok asing itu. Malu
rasanya dengan sikapku yang seperti anak SMA yang baru jatuh cinta ini,
mengingat umurku sudah dua puluh lima.
“Mbak Faiqa, kok kelihatan
gelisah sih? Lagi nggak enak badan
ya, Mbak?” Tanya salah seorang trainee barista memecah lamunanku.
“Ah.. Enggak kok.
Gimana? Sudah mulai terbiasa dengan ritme kerja di sini?” Jawabku. Mataku tetap
saja mencuri-curi pandang mencari tanda-tanda kehadirannya.
Dengan senyum yang
ceria, trainee barista itu mengangguk dengan penuh semangat. “Iya, Mbak. Senior
di sini baik-baik dan nggak pelit ilmu. Oke deh, Mbak. Aku lanjut lagi ya.”
Ujarnya, yang kemudian kurespon dengan anggukan dan senyuman. Senang rasanya
melihat karyawan yang bersemangat seperti itu.
Kulirik jam di dinding,
sudah pukul tujuh lewat. Tak ada sedikitpun tanda-tanda kehadirannya. Rasa
gelisah mulai merajai pikiranku. Ini sungguh aneh. Kenapa pula aku harus merasa
gelisah karena seseorang yang namanya pun tidak kuketahui.
Untuk mengalihkan
perhatianku, kuputuskan untuk mencari kesibukan di balik counter. Dengan keahlian yang sudah dilatih oleh orang tuaku sejak
aku remaja, aku mengajari trainee barista tadi beberapa teknik Latte art serta beberapa racikan kopi
khas book cafe ini. Aku sangat
menyukai aroma kopi di sini meskipun aku tidak bisa minum kopi. Minum secangkir
kopi saja bisa membuatku merasa gelisah dan jantungku berdebar tak beraturan.
Kalau dipikir-pikir,
pria asing itu, mirip dengan secangkir kopi. Membuatku gelisah tanpa sebab dan
membuat jantungku berdebar-debar. Membayangkannya membuatku terkekeh sendiri
seperti orang aneh. Andai aku punya keberanian untuk menyapanya. Setidaknya,
saat ini mungkin aku sudah mengetahui namanya dan tidak menyebutnya sebagai
‘pria asing’.
Sinar bulan di luar mulai
menerobos masuk melalui jendela cafe dan menerangi sudut tempat si pria asing
itu biasa duduk menikmati kopinya. Aku baru sadar, tanpa kehadirannya, entah
kenapa cafe ini terasa sepi. Tidak ada rambut pirang yang memberi warna kontras
pada gelapnya warna cokelat yang melapisi dinding cafe ini. Tidak ada sosok
yang menerawang jauh ke luar jendela. Entah apa yang dilihat. Tidak ada
pemandangan menarik di balik jendela itu, hanya jalan raya dan bangunan rumah
sakit yang menjulang di seberang sana.
Sudah pukul sepuluh
lewat, kurang dari satu jam lagi cafe
akan ditutup dan pria asing itu belum juga datang. Terbesit sedikit rasa kecewa
karena tak dapat melihatnya hari ini. Tapi, mungkin aku terlalu berharap, toh
dia tidak harus datang ke sini setiap hari. Kupusatkan pikiranku untuk kembali
fokus bekerja; Membantu di sana, membantu di sini, memastikan tiap pelanggan
mendapat pelayanan memuaskan dan keluar dari cafe ini dengan perasaan senang.
Kini aku kembali
membantu trainee barista di balik counter.
Kami mulai bersiap-siap untuk closing. Perasaan sepi yang tadi sempat
terlupakan kini hadir kembali. Ingin rasanya aku melihat pria asing itu datang.
“Permisi, masih bisa
pesan?” Tanya seorang pria. Meskipun fasih berbicara dengan bahasa Indonesia,
logat Prancisnya yang kental tak dapat disembunyikan. Logat milik pria asing
itu.
“Maaf, Mister. Kami sudah closing.” Jawab sang kasir dengan cekatan. Dari balik counter ini aku dapat melihat sedikit kekecewaan
tergurat di wajahnya.
“Sebentar saja, bisa?”
Tanya pria asing itu sedikit memohon. Petugas kasir itu terlihat bingung dan
memandangiku, mencoba meminta bantuan. Sekuat tenaga kucoba bersikap sewajar
mungkin dan menghampiri sang kasir yang bertugas di samping counter. Tapi, bagaimanapun kerasnya aku
berusaha, tetap saja jantung ini berdetak kencang seenaknya tanpa bisa
kukendalikan.
“Pesan apa, Sir?” Tanyaku. Sulit rasanya berbicara
dengan normal saat jantung ini berdebar kencang. Kuberanikan diri memandang
wajahnya. Wajah itu terlihat sedikit pucat.
“Oh, terima kasih. Espresso, please.” Ujarnya
dengan sopan sambil memberikan selembar uang lima puluh ribu kepada kasir
kemudian segera berjalan menuju sudut jendela dan duduk di tempat favoritnya.
Dengan cekatan, aku
kembali ke balik counter dan
membuatkan kopi pesanannya. Segera setelah selesai, secangkir espresso ini
segera kuletakkan di atas nampan. Saat berjalan ke arahnya, aku berusaha agar
gemetar di tanganku ini tidak terlihat olehnya. Sungguh, tingkah lakuku ini
benar-benar seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Aku jadi salah tingkah
sendiri karenanya.
“Permisi. Ini
espressonya.” Ujarku sembari meletakkan secangkir kopi itu ke hadapannya.
“Terima kasih, um, Nona. Maaf saya datang larut malam
sehingga menyusahkan begini.”
“Tidak, mister. Tidak perlu minta maaf. Anda
terlihat pucat. Apa anda baik-baik saja?” Tanyaku. Sejak kedatangannya, wajah
pucat itu membuatku sedikit cemas.
Pria asing itu
menggeleng sekedarnya. “Hanya sedikit tidak enak badan. Mungkin gejala flu.
Tidak perlu dikhawatirkan.”
Meskipun ia berkata
seperti itu, tetap saja ada rasa khawatir yang mengganjal di dadaku. “Mister, mohon tunggu sebentar. Saya bisa
membuatkan kopi yang dapat membuat anda merasa sedikit lebih baik.” Ujarku.
Segera kubalikkan badanku dan secepat mungkin berjalan menuju counter untuk membuat secangkir wedang
kopi jahe yang sering diajarkan oleh nenekku dulu.
“Maaf menunggu lama.
Ini. Coba anda minum ini dulu.” Dengan lebih tenang dari sebelumya, kini
kuberikan secangkir wedang kopi jahe kepadanya.
Dengan sedikit bingung,
pria asing itu meraih secangkir wedang kopi jahe yang kuberikan kepadanya. “Merci!” Ujarnya. Terlihat sekali ia
kaget dengan rasa wedang jahe dan kopi yang berbaur menjadi satu di tegukan
pertama, tapi dengan lahap ia menghabiskan wedang kopi jahe itu.
“Ah, ini enak sekali.
Belum pernah saya minum kopi seperti ini.” Senyum mengembang di wajahnya yang
agak pucat itu. “Oh ya, siapa namamu?”
“Faiqa.” Jawabku
singkat. Jantungku benar-benar berdebar tak beraturan saat ini.
“Oh. Manajer di sini?”
Ku jawab dengan
anggukan pelan, “Merangkap pemilik.” Lanjutku.
“Senang bertemu
denganmu, Faiqa. Saya Davin
Gringore.”
Ujarnya sambil mengulurkan tangannya kepadaku, menandai awal perkenalan kami.
Kusambut uluran tangannya seraya berusaha menutupi rasa senangku yang
berlebihan ini.
Tuhan, akhirnya aku
mengetahui nama pria asing itu.
***
Semenjak malam itu,
kami berteman dan banyak berbincang tiap kali ia datang ke book cafe ini. Senang rasanya tidak menyebutnya sebagai pria asing
lagi.
“C’mon! Stop calling me ‘Sir’, Faiqa. Kita teman, kan?” Ujarnya
dengan mimik muka yang lucu saat aku memanggilnya ‘Sir’.
“Oh, ya! Gringore.”
“Non! Davin saja.” Ujarnya dengan aksen Prancis yang kental.
Mendengarnya berbicara sungguh menarik. Normalnya, ia akan berbahasa Indonesia
dengan fasih karena dulu sempat menetap di sini selama tiga tahun, tapi
terkadang ia tanpa sadar menyelipkan bahasa Inggris dan Prancis di dalam
kalimatnya.
“Oke! Davin.” Sahutku
sambil tersenyum yang kemudian dibalas juga dengan senyumnya.
“That’s better.”
***
Semakin sering kami
menghabiskan waktu bersama di cafe ini, semakin banyak hal yang kuketahui
tentang dirinya. Usianya terpaut cukup jauh dariku, sembilan tahun. Di tahun
ketiga saat ia menetap di Indonesia, tepatnya di penghujung tahun 2012, ia
sempat mengalami kecelakaan hebat dan di rawat cukup lama. Setelahnya, ia
kembali ke Paris untuk beristirahat dan mendapat perawatan dari keluarganya.
Kemudian, tiga bulan lalu ia kembali ke Indonesia, mencoba untuk kembali
tinggal di sini. Hal mengenai dirinya yang paling kusukai adalah, ia seorang
pelukis. Sejak dulu aku sangat menggemari lukisan, meskipun aku sama sekali
tidak bisa melukis.
“So, Faiqa. As I promised,
here is my sketchbook.” Ujar Davin
sambil menyodorkan sketchbook-nya ke
arahku. “Sebenarnya, isinya hanya coretan kasar, sebelum saya lukis di atas
kanvas, dan sketsa portrait. Semoga tidak mengecewakan.”
Kubuka halaman demi
halaman. Tiap sketsa yang terdapat di dalamnya membuatku terpana, sangat
terpana.
“Siapa pelukis
favoritmu, Faiqa?” Tanya Davin.
“Davin Gringore.” Jawabku setengah
bercanda. Davin tertawa mendengar jawabanku. “Aku sangat mengagumi karya Pak Affandi
dan anaknya, Ibu Kartika Affandi. Keduanya pelukis Indonesia.” Davin
mendengarkanku dengan antusias. “Tapi dari semua pelukis yang kuketahui, yang
paling berkesan dan kusukai adalah Vincent van Gogh.”
“Alasannya?”
“Meskipun semasa
hidupnya, hanya ada satu lukisannya yang terjual, tapi beliau tetap
mendedikasikan hidupnya untuk melukis, pekerjaan yang dicintainya. Beliau
pantang menyerah dan tak segan untuk terus belajar, meskipun sedikit yang
mendukungnya. Itu mengagumkan menurutku.”
Davin mengangguk-angguk
sambil mendengar celotehanku yang amatir ini. “Lukisan Van Gogh yang kamu sukai
apa, Faiqa?”
“Potato Eaters.” Jawabku mantap.
Davin hanya tersenyum
mendengar jawabanku. Kemudian, matanya kembali menerawang ke luar jendela,
membuatku bertanya-tanya apa yang sebenarnya dicari oleh Davin di luar sana. Pemandangan? Inspirasi untuk lukisannya? Tidak
mungkin. Bangunan rumah sakit dan jalan raya bukanlah pemandangan yang menarik.
Lantas apa?
Setelah cukup lama
memandang ke luar sana dan menciptakan keheningan di antara kami berdua, Davin
kembali menatapku. Aku merasa tatapan itu berbeda. Entah apa yang membuatnya
berbeda, tapi aku merasakannya. Bolehkah..
aku berharap?
“Kapan kamu libur, Faiqa?”
Tanya Davin tiba-tiba.
“Hari Minggu. Adikku
yang bertugas hari itu.”
“Good! Maukah kamu datang ke pameran saya? Hari Minggu merupakan
hari terakhir pameran diselenggarakan.” Ujar Davin sambil menyodorkan selembar
tiket masuk pamerannya. Aku merasa sangat senang dan mengangguk setuju untuk
datang. Davin menggenggam tanganku. “Kamu harus datang. Pastikan bahwa kamu akan
datang ke pameran saya.” Lanjut Davin dengan mimik muka yang serius, membuatku
salah tingkah.
Mungkin, aku bisa
sedikit berharap.
***
Hari itu, aku pulang
menuju rumah dengan jantung berdebar tak karuan. Anehnya, aku tak bisa berhenti
tersenyum. Kupandangi tiket pemberian Davin sambil merebahkan diriku di atas
kasur. Senyum kembali mengembang di wajahku. Dengan tak sabar, kuraih ponselku
yang tergeletak tak jauh dariku. Jariku bergerak lincah untuk menghubungi
seseorang yang kutahu pasti tak akan marah jika kuhubungi tengah malam begini.
“Fai.. Lo tau ini jam
berapa?” Jawab Alvian di seberang sana dengan suara berat khas seseorang yang
baru terbangun dari tidurnya.
“Jam 12 kurang 2 menit.”
Jawabku datar yang disambut dengan dengusan kesal Alvian. Aku tersenyum
mendengarnya. “Tapi Al.. Lo harus denger cerita gue.”
“Apa? Tentang mister
bule itu lagi? Udah, lo nyerah aja Fai.”
“Dia.. Dia minta gue
dateng ke pamerannya, Al. Bahkan sampai minta gue mastiin kalau gue bener-bener
bisa dateng untuk dia. Boleh nggak sih gue berharap lebih?” Ujarku tanpa henti.
Aku sudah berteman lama dengan Alvian, hampir dua belas tahun. Karenanya, aku
tak pernah sungkan menceritakan apapun kepada Alvian.
Ada sedikit keheningan
di antara kami. Aku berani bertaruh, Al sedang setengah tertidur. “Kapan?”
Tanya Al tiba-tiba.
“Hari Minggu ini.
Tanggal 10 Agustus.”
“Gue ikut.”
“Hah?” Aku terkejut
bukan kepalang. “Ngapain? Lagipula Davin cuma kasih satu tiket.”
“Tiket bisa on the spot kan? Atau gue bisa tunggu lo
di mobil nanti. Bahaya kalau ternyata mister bule itu punya maksud jelek sama
lo, Fai.”
“Namanya Davin, Al,
bukan mister bule.” Ujarku kesal. Aku tak tahu harus berkata apa. Meskipun aku
berkata tidak, Alvian pasti akan tetap pergi dan mengawasiku. Sikapnya yang
terlalu protektif seperti seorang kakak inilah yang kadang membuatku sedikit
jengah.
***
Semenjak ia memberiku
tiket pameran itu, Davin tidak pernah lagi datang ke book cafe ini. Padahal, aku kira, setelah hari itu hubungan kami
akan semakin dekat.
“Besok lo tetap akan
pergi ke pamerannya, Fai?” Tanya Alvian yang sedang datang ke cafe sore itu.
“Gue udah janji, Al.
Gue akan tetap datang besok.” Jawabku sambil menghidangkan crepe pesanan Alvian.
Alvian tidak berkata
apa-apa, hanya memainkan crepe-nya
dengan garpu. “Kalau ternyata apa yang terjadi besok nggak sesuai harapan lo,
lo siap, Fai?”
Aku hanya mengangguk, meskipun dalam hati tak yakin dengan anggukan ini.
***
Tepat pukul sebelas,
aku dan Alvian tiba di gedung tempat pameran Davin diselenggarakan. Setelah
Alvian membeli tiket, kami berdua menerima katalog mengenai lukisan-lukisan
yang dipamerkan. Sebagian lukisan yang dipamerkan merupakan hasil karya Davin
saat ia dulu tinggal di Indonesia, sebagian lainnya adalah hasil karya seniman
tanah air.
Memasuki ruang pameran,
aku begitu takjub melihat dekorasi interiornya yang ditata sedemikian rupa
sehingga mencerminkan tema pameran lukisan ini, Surga di Penghujung Khatulistiwa.
Dinding yang berwana cokelat muda, membuat bingkai lukisan terlihat lebih kokoh
dan menonjol. Ruangan ini juga dipermanis dengan tanaman hias dan lampu-lampu
kecil di langit-langit yang memberikan kesan mewah. Suasananya sungguh sangat
manis.
Aku dan Alvian mulai
berkeliling, dimulai dengan melihat lukisan-lukisan para seniman tanah air. Sungguh
menakjubkan melihat tiap sudut Indonesia dilukiskan dengan sangat indah dan
asri. Semoga keindahan-keindahan yang
terangkum dalam lukisan-lukisan itu dapat menggerakkan hati siapa pun yang
melihatnya untuk tergerak dan turut serta menjaga dan melestarikannya.
Kami semakin ke dalam
menjelajahi lukisan demi lukisan. Tiap sudutnya menampilkan kekayaan dan
keindahan pulau-pulau di Indonesia dengan goresan khas masing-masing seniman.
Tiap goresan terlihat begitu mantap dengan perpaduan warna yang menarik.
Kemudian, tanpa sadar kami sudah tiba di sudut tempat lukisan-lukisan Davin
dipamerkan. Davin merupakan satu-satunya pelukis mancanegara yang karyanya diikutsertakan
dalam pameran ini.
Semua lukisan Davin
mengenai kota ini, Yogyakarta. Mulai dari pantai, gunung, hingga pasar. Goresannya
di atas kanvas begitu tajam dan terasa jujur, membuatku terpana.
Lukisan-lukisan ini berkali-kali lipat jauh lebih mempesona daripada yang
kulihat dalam sketchbook-nya.
“Fai, gue nggak sangka,
lukisan-lukisan si mister bule ini boleh juga ya.” Ujar Alvian seraya berdecak
kagum.
Aku
hanya tersenyum mendengarnya. Jarang
sekali Alvian bisa terang-terangan memuji
orang lain seperti ini. Kucoba mencari sosok dibalik karya-karya indah di
hadapanku ini. Kususuri lorong
demi lorong, tidak
kutemukan sosoknya. Akan tetapi,
aku melihat satu lukisan yang sedikit berbeda. Lukisan itu
ditempatkan di penghujung lorong. Tak seperti lukisan lainnya, di samping
lukisan itu hanya tertulis judul lukisannya saja, tanpa dilengkapi dengan
nominal harga. Di sana tertulis “Espoir” sebagai judul dan “Davin Gringore” sebagai pelukisnya.
“Es.. Po.. Ir..?” Kucoba mengeja judul lukisan itu. Mataku seakan tak bisa
lepas dari sosok seorang gadis yang berada dalam lukisan itu. Berlatar belakang
gedung rumah sakit, sosok gadis itu terlihat anggun dengan balutan gaun putih.
Dia gadis Indonesia, dengan rambut tergerai sebahu dan tatapan mata yang teduh.
Dalam lukisan itu, sang gadis tersenyum begitu manis.
“Ben non! Espoir tidak dilafalkan
seperti es-po-eer.” Ujar seseorang
sambil memegang kedua pundakku dari belakang. “Tapi dilafalkan seperti es-pwar (ɛs.pwaʁ).”
Aku sangat mengenal suara dengan logat Prancis yang kental ini. “Davin!”
Ujarku seraya menoleh kepada Davin. Jantungku kembali berdegup tak beraturan.
Davin menyambutku dengan senyumannya. “Hai. Terima kasih. Sudah saya tunggu
kamu datang. Dia.. Kekasih kamu, Faiqa?” Tanya Davin sambil mengarahkan
pandangan kepada Alvian.
“Bukan!” Ujarku dan Alvian bersamaan. “Ini Alvian, temanku baikku. Alvian,
ini Davin.” Lanjutku memperkenalkan mereka berdua. Keduanya berjabat tangan dan
saling memberi sapaan singkat.
“Bagaimana pamerannya?” Tanya Davin antusias.
“Bagus banget! Semua lukisannya menarik, terutama lukisan ini.” Kutunjuk
lukisan Espoir yang ada di depanku
ini. “Terasa berbeda. Menyentuh. Tegas, tetapi lembut di saat yang bersamaan.
Kamu hebat sekali, Davin. Tapi, rasanya lukisan ini kurang sesuai ya dengan
tema pameran kali ini.”
Davin tersenyum saja mendengar celotehan amatiranku. “Coba perhatikan
sekelilingmu, Faiqa.” Ujar Davin sambil memegang kedua pundakku lagi, dan
memutar tubuhku ke segala arah. “Apa yang kamu lihat?”
“Pemandangan menarik dari tiap sudut pulau di Indonesia.” Sahutku.
“Benar, itulah Surga di Penghujung Khatulistiwa menurutku.” Ujar Davin menimpali. “Surga itu, juga
tempat tinggal para bidadari. Benar bukan?”
Aku hanya terdiam, berusaha memahami arah pembicaraannya. Davin kemudian
kembali memutar tubuhku hingga aku kembali menghadap lukisan Espoir itu. Davin menunjuk sosok gadis
di dalam lukisan itu. “Namanya Khalisa Gantari. Bagiku, dialah sosok yang
mewakili para bidadari di Surga di Penghujung
Khatulistiwa ini.”
Tubuhku kaku. Aku tak tahu harus bagaimana. Aku berusaha untuk tersenyum,
tapi tidak bisa. Ingin kupalingkan pandanganku dari Khalisa Gantari yang
tersenyum manis di dalam lukisan itu, tapi tak juga bisa kulakukan. Diakah perempuan yang dicintai Davin? Batinku.
“Dia.. Pacar anda, Mister Davin?”
Tanya Alvian memecah kesunyian di antara kami. Tidak ada jawaban. Davin hanya
menggeleng pelan.
“Dulu, saya pernah cerita tentang kecelakaan yang saya alami kepada kamu
Faiqa. Benar kan?” Aku mengangguk pelan. “Khalisa dulu bekerja sebagai perawat
di rumah sakit yang bersebrangan dengan kafe milikmu, Faiqa. Di rumah sakit itu
juga saya dirawat setelah kecelakaan. Khalisalah yang seringkali bertugas
merawat saya.”
Ada hening yang kemudian tercipta di antara kami bertiga. Aku masih tidak
tahu bagaimana harus bersikap dengan normal. Menatap mata Davin pun aku tidak
bisa.
“Perasaan terhadap Khalisa mulai tumbuh di dalam diri saya. Akan tetapi,
setelah satu bulan dirawat di sana, keluarga saya meminta rumah sakit agar bisa
memindahkan perawatan saya di Paris, untuk memudahkan mereka merawat saya.”
Davin kemudian tertunduk. Aku tidak bisa melihat raut wajahnya dengan jelas.
“Saya kira, perasaan saya waktu itu hanya sekedar kekaguman biasa yang akan
hilang seiring berlalunya waktu.” Davin terdiam sejenak, kemudian menatapku
lekat-lekat. “Ternyata saya salah, Faiqa. Khalisa tidak pernah hilang dari
ingatan saya. Sejak menyadari itu, saya coba membuat lukisan Espoir ini, dengan harapan bisa
memberikan lukisan itu kepadanya ketika saya kembali ke Indonesia lagi.”
Davin kemudian memberitahuku jika tiga bulan lalu akhirnya ia kembali
menginjakkan kakinya kembali di Tanah Air. Dengan perasaan sangat bahagia, ia
pergi mengunjungi Khalisa ke rumah sakit tempat ia dirawat dulu, rumah sakit
dengan bangunan kokoh yang tiap hari selalu terlihat dari jendela kafeku.
“Tapi ternyata dia sudah tidak bekerja di sana, Faiqa.” Ujar Davin. “Rekan
kerjanya berkata Khalisa berhenti bekerja karena akan menikah, tapi mereka
memberi tahu terkadang Khalisa datang berkunjung sebentar di malam hari,
sekedar untuk bertegur sapa dengan teman-temannya di sini.” Kalimat Davin
terhenti sejenak. “Saya cukup hancur mendengarnya, tapi keinginan saya untuk
melihat Khalisa tetap besar. Jadi, saya putuskan sesering mungkin dapat melihat
rumah sakit itu dari dalam kafe milikmu, berharap suatu saat dapat menemukan
sosoknya kembali untuk terakhir kalinya. Tapi ternyata mustahil. Saya merasa
seperti orang bodoh.”
Davin berusaha tersenyum, menghibur dirinya sendiri, tapi aku tahu ia masih
terluka. “Tidak, sama sekali tidak, Davin.” Kupeluk Davin cukup erat, berharap
agar ia merasa sedikit lebih baik. “Setidaknya, karena itu, kamu bisa mendapat
teman baik seperti aku.” Gurauku untuk menghiburnya.
Davin kini benar-benar tersenyum. “Ya, saya bersyukur mendapat teman baik
yang langka seperti ini.” Ujarnya sambil mengusap kepalaku seperti anak kecil.
“Cukup untuk cerita tentang Khalisa, saya mengundang kamu karena ada yang ingin
saya berikan kepada kamu sebagai kenang-kenangan, Faiqa.”
“Kenang-kenangan?” Tanyaku heran.
Davin tidak menggubrisku. “Ayo ikut saya ke ruang istrahat.” Ujarnya. Aku
melirik Alvian, Alvian hanya menggeleng, pertanda ia tidak akan ikut bersama
kami ke ruang istirahat Davin.
***
Ruang Istirahat Davin yang disediakan oleh panitia penyelenggara pameran
ini tidak terisi banyak perabotan. Hanya sebuah meja dan beberapa sofa. Di atas
meja itu terdapat kotak pipih yang cukup lebar terbungkus oleh kertas kado
bermotif batik. Davin meraih kotak pipih itu dan memberikannya kepadaku. Kubuka
bungkus kadonya dengan antusias. Begitu melihatnya, aku tak dapat menahan
tawaku lagi.
“Davin! Ini.. Ini lukisan secangkir wedang kopi jahe waktu itu kan?” Ujarku
tak percaya. Aku masih ingat jelas pernah membuatkannya minuman itu meskipun
tidak termasuk dalam menu di book cafe-ku.
“Benar. Itu kopi yang sangat enak. Kamu harus coba mempertimbangkannya
untuk memasukkan kopi itu ke dalam menu.” Ujar Davin dengan senyum mengembang.
“Kalau kamu mau, lukisan itu bisa kamu pajang di kafemu.”
Kupandangi lukisan secangkir kopi itu. Sederhana dengan sapuan lembut,
tetapi kaya akan warna. Sangat serasi jika disandingkan dengan gelapnya warna
dinding kafeku. “Pasti! Pasti akan kupajang.” Ujarku dengan senyum yang tak
kalah lebarnya dengan senyum Davin. “Tapi, Davin.. Apa maksudmu dengan
kenang-kenangan?”
Senyum perlahan memudar dari raut wajah Davin. “Sebelumnya saya minta maaf,
Faiqa. Saya tidak memberitahu kamu terlebih dahulu.” Hening tercipta kembali di
antara kami. “Hari ini, hari terakhir saya berada di Indonesia. Sudah saya
putuskan untuk menetap kembali di Paris.” Davin berusaha untuk bersikap sewajar
mungkin denganku. “Saya sudah tidak punya alasan lagi untuk tetap tinggal.”
Ingin rasanya aku menangis. Tapi siapalah aku. Aku hanya seorang teman yang
kebetulan ia dapatkan di tengah pencariannya. Teman yang mungkin dalam beberapa
tahun ke depan sudah tak ia ingat lagi keberadaanya. “Kenapa tiba-tiba?”
Tanyaku seraya berusaha agar tangisku tidak tumpah dihadapannya.
Davin tidak menjawab apa-apa, ia hanya merangkulku cukup erat. “Maaf,
Faiqa.” Ujarnya lembut. “Tapi, saya harap, kamu tidak melupakan saya sebagai
temanmu, karena bagi saya, kamu salah satu teman terbaik yang saya punya.
Sesekali, kamu harus kirim email dan kabari saya. Saya juga akan melakukan hal
yang sama.” Lanjut Davin.
Ada sedikit perasaan lega mendengar ucapan itu keluar dari mulut Davin. Tak
mengapa jika perasaanku ini tak akan berbalas, asal ia tidak pernah melupakan
keberadaanku di sini. “Ya. Pasti, Davin.” Jawabku. “Tapi, kalau kamu tidak
balas emailku, awas saja!” Kutepuk bahunya dengan keras. Davin meringis
kesakitan lalu kemudian tertawa.
“Jika ada waktu luang, datanglah sesekali ke sini.” Lanjutku
Davin mengangguk dan tersenyum padaku.
***
Aku masih tak
percaya dengan yang kualami hari ini. Pikiranku kosong, tidak merasakan
apa-apa, tapi hatiku ingin sekali menangis sekencang-kencangnya. Sepulangnya
dari pameran lukisan itu, aku hanya duduk termangu di pelataran teras rumah
Alvian. Kuceritakan semua yang terjadi di ruang istirahat itu kepada Alvian.
“Bukannya lo
masih ada harapan Fai? Lo sama Davin akan tetap berkomunikasi kan? Dan, nggak
menutup kemungkinan dia akan sesekali datang ke sini.” Ujar Alvian.
Aku hanya
menggeleng mendengar perkataan Alvian itu. “Nggak, Al. Gue bisa rasain, nggak
ada tempat istimewa buat gue di hati Davin. Selamanya, gue nggak akan pernah
lebih dari teman untuk Davin.” Lanjutku.
Alvian tidak
berkata apa-apa, hanya diam di sampingku sambil menatap langit, seakan ia dapat
melihat bintang-bintang di malam yang mendung itu.
“Tapi Al,
selama gue tau dia bahagia, gue nggak masalah walau hanya jadi teman. Mungkin
lo nggak ngerti perasaan melankolis khas cewek gini ya.” Ujarku sambil
terkekeh.
Alvian
mengalihkan pandangannya kepadaku, cukup lama sampai aku merasa aneh. “Ngerti,
kok.” Ujar Alvian. “Makanya gue tau lo lagi sok tegar padahal mau nangis.
Tipikal!” Lanjut Alvian ketus sambil mendekatkan bahunya ke bahuku. “Nih!
Khusus hari ini aja, gue pinjemin bahu gue buat lo secara gratis. Lo boleh
nangis sepuasnya. Gue janji nggak akan ngejek lo atau komen secuilpun.”
Hari itu, dinaungi langit
malam yang mandung, untuk pertama kalinya aku menangis sejadi-jadinya di bahu
sahabat terbaikku yang terkadang menyebalkan ini.