Hello, My Tomorrow!

"Dalam dunia kita yang terbelah secara berbahaya, belas kasih sangat diperlukan demi kepentingan kita." 
~Karen Armstrong

Ada pepatah bijak yang mengatakan bahwa perbedaan merupakan suatu anugerah. Beruntunglah manusia karena telah dianugerahi begitu banyak perbedaan yang menciptakan keragaman dalam berbagai aspek kehidupannya. Ada bermacam bahasa, suku, budaya, hingga keyakinan yang telah meliputi kehidupan manusia sejak lama. Ketika semua itu dapat berjalan beriringan dengan harmonis, tentu itulah yang dimaksud sebagai suatu anugerah.

Akan tetapi, tidak selamanya manusia dapat memandang perbedaan yang ada sebagai suatu anugerah. Banyaknya perbedaan yang mengelilingi manusia serta adanya kebutuhan untuk berkomunikasi, secara alami, mendorong manusia untuk saling berinteraksi, menemukan kesamaan dengan manusia lainnya, lalu menjadi kelompok-kelompok yang dipersatukan berdasarkan persamaan yang mereka miliki, baik itu kesamaan pola pikir, kesamaan suku, kesamaan minat, maupun kesamaan keyakinan.

Keterikatan dan loyalitas yang mendalam terhadap suatu kelompok tak jarang menimbulkan keinginan untuk menjadikan kelompok tersebut lebih unggul, lebih baik, dan lebih benar dibanding kelompok lainnya, terlebih ketika kelompok yang satu memiliki paham yang berlawanan dengan kelompok lainnya. Kemudian, keinginan untuk menjadikan kelompok sendiri lebih unggul, yang dibiarkan berkembang secara tidak sehat, dapat membuat manusia, mengincar kekuatan dan kekuasaan agar kelompoknya dapat memiliki wewenang lebih besar atas kelompok lain. Sehingga, ketika tidak ditangani dengan kepala dingin, keadaan seperti ini dapat berimbas pada lahirnya beragam permasalahan etnosentrisme yang dapat berujung pada diskriminasi dan rasisme.

Situasi yang tidak sehat tersebut, jika dibiarkan berlarut-larut, tentunya dapat mempengaruhi pola pikir manusia dalam kehidupan sosialnya. Sifat etnosentris yang terlalu melekat dalam suatu kelompok dapat mengubah sudut pandang “kita” menjadi “aku” atau “kami”. Tidak mengherankan jika kemudian terjadi banyak ketidakadilan, kecurangan, serta penindasan di dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan sangat mudahnya menemukan berita negatif, seperti korupsi, pencurian, pembunuhan, sampai rasisme, dalam media cetak maupun elektronik. Berita-berita negatif tersebut terus-menerus datang menghiasi berbagai surat kabar dan televisi tanpa bisa dihentikan bagai air bah yang meluap.

Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan perbedaan, sampai ketika perbedaan yang ada mendorong kita untuk saling mengkotak-kotakkan, bukan saling melengkapi. Fenomena ke'aku'an yang berakar dari perbedaan ini tentunya sangat bertolak belakang dengan tesis sebelumnya yang menyatakan bahwa perbedaan adalah anugerah, dan bahwa perbedaan dapat membantu manusia untuk saling melengkapi dan mengindahkan, ibarat sekumpulan warna yang membuat sebuah lukisan menjadi bernilai. Fenomena ke'aku'an ini menunjukkan bahwa dengan mudahnya manusia dapat tenggelam dalam egoismenya, dalam kerakusannya, dan dalam kehausannya.

Celah inilah yang mendorong Karen Armstrong untuk merealisasikan buku Compassion ini. Dengan tujuan menjadikan belas kasih sebagai landasan dalam kehidupan religius dan moral, Karen Armstrong, dibantu oleh TED (Technology, Entertainment, Design), mencoba untuk memperkenalkan dan menyebarkan nilai-nilai yang dianggap dapat memperbaiki celah tersebut. Nilai-nilai ini dikenal sebagai Charter of Compassion (Piagam Belas Kasih) yang dalam penyusunannya melibatkan berbagai pemikir keagamaan dari berbagai agama besar. 

Disajikan dengan bahasa yang lugas dan mudah untuk dipahami serta tema yang terstruktur dan sistematis membuat buku ini patut untuk dibaca oleh setiap orang. Penyampaian Karen Armstrong mengenai langkah demi langkah demi mewujudkan Charter of Compassion di tiap bab dalam buku ini seakan membimbing kita untuk menemukan persepsi mengenai berbelas kasih yang dapat mencakup semua golongan, dan semua agama, sehingga dapat mengingatkan kembali para pembacanya bahwa pada dasarnya belas kasih tak terbatas pada golongan tertentu saja, sebaliknya, belas kasih merupakan salah satu aspek yang dapat mempersatukan tiap perbedaan yang ada dalam harmoni. Hal lain yang menarik dari buku ini adalah terkadang pembaca 'ditantang' untuk dapat menemukan dan memahami sendiri inti dari 12 langkah untuk hidup berbelas kasih yang disajikan dalam tiap babnya.

Di tengah banyaknya konflik yang terjadi saat ini, tentunya buku ini bagaikan sebuah oasis di padang pasir yang memberikan para pembacanya harapan, bahkan lebih dari sekedar harapan, bahwa hidup dengan belas kasih dan empati bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan. Karen Armstrong telah memberikan kontribusinya yang besar dalam usaha mewujudkan Charter of Compassion melalui buku ini. Setelahnya, tentu giliran kita sebagai pembaca untuk menjadi perpanjangan tangan Karen Armstrong dengan misinya menyebarkan ajaran berbelas kasih. Caranya? Tentu dengan tidak menyia-nyiakan dan tidak menjadikan dua belas langkah hidup berbelas kasih dalam buku ini sebagai teori semata, karena hidup berbelas kasih perlu untuk diamalkan bukan hanya untuk dipelajari dan dibaca.

Judul: Compassion (12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih)
Penulis: Karen Armstrong
Penerjemah: Yuliani Liputo
Penerbit: Mizan
Tahun: 2012
Tebal: 247 halaman
ISBN: 978-979-433-594-9 







---------
UPDATE

Alhamdulillah melalui resensi ini saya diberi kesempatan oleh Mizan untuk mengikuti acara Gala Dinner bersama Karen Armstrong. :) Thanks Mizan!

Link pengumuman pemenang
Link liputan acara
Read More …