Hello, My Tomorrow!

WOW! Saya nggak tau kata apa yang bisa ngegambarin ketakjuban saya sama novel karya Irving Stone yang satu ini, Lust for Live, sebuah novel biografi mengenai Vincent van Gogh, yang meskipun dalam urusan teknik seperti dialog dan beberapa adegan adalah fiksi, keseluruhan jalan cerita dalam buku ini adalah benar dan telah dialami oleh Vincent dan tokoh-tokoh lain yang ada di dalamnya.


Untuk novelnya sendiri, ceritanya bener-bener ngalir dan detail. Dari satu adegan ke adegan lainnya, semua terangkai dengan sangat, sangat, baik. Makanya nggak heran pas baca novel ini, seakan-akan saya sebagai pembaca bener2 hidup di zaman Vincent van Gogh dan ngeliat sendiri perjuangan beliau di depan mata saya. Dan itu cukup ngasih sensasi yang nggak terlupakan.

Terlepas dari kisah hidup Vincent yang memang sangat menakjubkan, Irving Stone bisa menyajikan kisah tersebut di hadapan kita dengan sangat real dan perfect lah kalo menurut saya. Dari halaman ke halaman, selain disuguhkan gambaran kehidupan Vincent, Stone juga berhasil menggambarkan gejolak-gejolak perasaan Vincent yang seperti ombak tak terkendali itu.

Dan novel ini juga berhasil ngebuat saya jatuh hati sama Theo van Gogh, adik Vincent, dan berhasil juga ngebuat saya kagum sama hubungan di antara kedua kakak-adik ini, gimana keduanya saling sangat menyayangi satu sama lainnya meskipun keadaan kadang tidak menguntungkan. Gimana Theo mau tanpa pamrih menyokong hidup Vincent, menyimpan dengan rapih tiap surat yan dikirimkan Vincent, dan juga selalu punya keyakinan terhadap masa depan Vincent sebagai pelukis bahkan bersedia untuk mengorbankan pekerjaannya, meskipun akhirnya rencana mereka dibatalkan Vincent. Dan sebagai gantinya, Vincent berusaha sampai bahkan hampir mati karena kurang makan demi bisa menghasilkan lukisan-lukisan yang baik agar ia bisa cepat mandiri dan tidak menyusahkan adiknya, menyalurkan tiap emosi yang ia punya ke dalam lukisannya, sangat berdedikasi dan mencintai pekerjaannya sebagai pelukis.

Dan yang membuat saya kaget sama buku ini adalah... Saya yang sangat jarang, bahkan hampir nggak pernah nangis, dibuat nangis sama ending novel ini. Rasanya tuh perasaan sakit yang dirasain Vincent selama hidupnya bener-bener merasuk di hati saya, seakan saya sendiri yang ngerasain semua rasa sakit itu. Begitu juga rasa kehilangan yang teramat-sangat dirasakan oleh Theo, entah kenapa rasa sedihnya bener-bener 'jleb' banget masuk ke hati saya. Bahkan sampai saat saya nulis tulisan ini, kepedihan-kepedihan hidup Vincent dan rasa sedih Theo masih berbekas di hati saya. Ada sedikit rasa 'nyeri' tiap kali saya ingat terhadap Vincent dan Theo.

BRAVO untuk Irving Stone! Nggak heran buku ini bisa laris sampai lebih dari 25 juta exemplar di seluruh dunia... :)

Categories:

Leave a Reply